Jatuh Hati dengan Jalan Kaki di Perth - NG TRAVELMATE #1

Agustus 25, 2016

Perth malam hari.

Perth jauh dari syak awam saya: panas, sepi dan membosankan. Perth memberi impresi sebuah kota yang tumbuh dinamis bersama manusianya yang cinta kepada kotanya. Gedung-gedung tinggi yang modern, bangunan tua yang terjaga, taman asri yang tersebar, jalanan yang mana penggunanya saling menghormati dan narasi Sungai Swan yang menghidupi, merangkai Perth sebagai metropolitan yang manusiawi.  Menyusuri relung kota dengan jalan kaki menjadi pengalaman merasuk sukma yang membuat saya jatuh hati kepada ibukota Australia Barat.

Begitu pesawat GA 724 mulus mendarat di Bandar Udara Internasional Perth, langit cerah dan hawa sejuk langsung menyambut. Nuansa ini kontras dengan bayangan saujana penerbangan yang saya pandangi sepanjang dua jam di angkasa Australia, yakni daratan serba kering, keras dan nyaris tak ada hamparan hutan. Menyimak peta benua Kangguru, Perth dan kawasan pesisir pantai barat memang dinaungi hijau kesuburan dibanding wilayah yang berada di pedalaman. Mulai menjejak dalam kota, kejutan udara bersih makin menuang antusiasme saya untuk menjelajah.

Emily Andrews dan Ryan Zaknich menyambut kelompok NG Travel Mate pada penghujung hari yang telah ramai dipulas langit senja.  Emily merupakan perwakilan dari Badan Pariwisata Australia Barat. Ryan adalah pemandu dari Two Feet & a Heartbeat yang akan memberi narasi pada setiap langkah kaki kami di Perth dengan perspektif yang unik. Didirikan 2009 oleh Ryan atas kecintaannya pada Perth, Two Feet & a Heartbeat menyuguhi pengalaman penuh renjana pada wisatawan yang menelusuri Perth dengan jalan kaki. Titik berangkat kami bermula di Hotel Perth Ambassador, tempat menginap kami.

“Dengan jalan kaki, saya akan ajak kamu tahu bagaimana jatuh cinta pada kota ini.” gelitiknya

Patung John Septimus Roe di perempatan Adelaide Terrace dan Victoria Avenue membuka cakrawala sejarah kota sekaligus tengara masuk kami mengakrabi Perth. Roe dikenang sebagai surveyor pemerintah pertama di Australia Barat. Pada 1829, Roe tergabung bersama ekspedisi pimpinan James Stirling yang dikenal sebagai penggagas Koloni Sungai Swan, cikal bakal kota Perth. James Stirling lalu menjabat sebagai gubernur pertama Australia Barat. Atas jasa pekerjaan Roe, kota Perth dipetakan dan dibentuk tata ruangnya hingga kini manis ditinggali.

Ryan mengajak kami bergegas untuk menuju Elizabeth Quay. Kami melewati  Perth Concert Hall lalu menyamping Gedung Supreme Court of Western Australia. Kami menembus rimbunan temaram taman yang telah gelap dijenguk petang tapi beberapa warga masih bersemangat olahraga. Langkah kaki Ryan sungguh kepalang cepat, dibandingkan saya yang meski coba mengimbangi dengan upaya lebih tapi tetap saja tertinggal. Kebiasaan saya berjalan kaki ternyata belum sanggup untuk menyaingi Ryan yang tampaknya itu adalah langkah biasa bagi dia.

Wilayah Elizabeth Quay menyambut kami dengan panorama gemerlap gedung-gedung tinggi nan modern. Satu tengara yang kentara di sini adalah Swan Bell Tower yang berarsitektur futuristik meruncing dengan tinggi 82,5 meter. Bagi yang gandrung menyaksikan keglamoran suatu kota dari permukaan, Elizabeth Quay sungguh pas. Ruang publik ini menyuguhkan suasana gemerlap Perth sebagai kota metropolitan di belahan bumi selatan. Kemeriahan warga dan wisatawan Perth berbaur pada beragam aktivitas yang menggembirakan.

Gedung-gedung tinggi di Perth sesungguhnya menjadi deskripsi kemakmuran Western Australia atas anugerah pertambangan. Pada sebagian besar wilayahnya yang kering nan keras, tersaji keberlimpahan tambang bijih besi, batu bara, tembaga, emas, minyak, gas, nikel dan lainnya yang menopang perekonomian negara bagian terbesar di Australia ini. Saya menyaksikan gedung Rio Tinto dan BHP Biliton tampak menjulang di antara berdesak-desakan gedung. Dua bangunan dari raksasa pertambangan dunia kebanggaan Australia seakan menjadi panglima dari kemeriahan Perth malam itu.

Mari langkahkan kaki lagi! Ryan mengajak kami masuk ke jantung Distrik Pusat Bisnis Perth. Kejutan menyenangkan yang dijanjikan Ryan membuat kami melorong pada London Court. Kawasan perbelanjaan yang berdiri sejak 1937 sebagai dampak kemakmuran pertambangan emas ini menyuguhkan atmosfer zaman Tudor Inggris. Desain gang yang memadukan arsitektur Inggris, Prancis dan Spanyol selatan memikat saya untuk memerhatikan detailnya. Hanya saja daya tarik ini ada yang hampa: kami datang di saat semua toko sudah tutup.

Jam baru menunjukkan pukul  19.30, tapi saya amati toko-toko di Distrik Pusat Bisnis Perth sudah tutup. Berjalan kaki menyusuri kota pun jarang berpapasan dengan warga. Hay Street yang kami lewati selepas lolos dari London Court juga sudah sunyi ditelan malam. Padahal, Hay Street ini merupakan jalan utama di tengah kota Perth yang menyuguhi toko-toko dengan beragam pilihan barang bermerek internasional.

Untuk ukuran kota metropolitan tentu kondisi ini adalah mengejutkan. Namun untuk Perth, inilah gaya hidup lokal yang menjadikan kota ini sungguh ditambatkan cinta oleh penduduknya. Saya pikir, warga Perth tahu betul menjalani hidup bekerja dan menghabiskan waktu dengan keluarga. Dari romansa seperti ini, tak salah kalau Perth dikukuhkan menjadi salah satu kota paling nyaman ditinggali di dunia.

Saya tenggelamkan diri sejenak pada alunan sepi di Forrest Place, lapangan pedestrian yang siang harinya meriah dengan aktivitas warga dan air mancurnya tapi di malam hari hanya camar yang mengisi sunyi. Gedung bersejarah Kantor Pos Besar Perth dan Commonwealth Bank menjadi kawan setia Forrest Place sejak awal abad 20. Di sini, Ryan antusias berkisah tentang kehadiran VOC di Australia Barat yang tak sempat menancapkan kuku kekuasaan, tapi sekedar menamai New Hollandia. VOC lebih berenjana menggarap kekayaan rempah, gula dan kopi di Nusantara ketimbang mengembangkan Australia Barat yang dianggap kering tak memiliki apa-apa.

Jalan kaki kami sekarang mengarah ke kawasan Northbridge. Kami melintasi jembatan Northbridge yang membentuk lengkung huruf U dan bercokol di atas Stasiun Besar Perth.  Northbridge bagi yang menggandrungi keluyuran wisata khas urban adalah favorit. Daerah suburban Perth ini diwarnai dengan galeri dan museum penuh kisah; kafe dan restauran terbaik; bar dan kelab malam bergairah; toko-toko sumber ide dan inspirasi; serta lingkungan yang majemuk aneka bangsa. Denyut Northbridge ini pun berdetak hingga larut malam, jauh meninggalkan kesunyian pusat kota Perth. Bangunan tua jejak akhir abad 19 dan awal abad 20 yang lestari di Northbridge makin membuat kawasan ini semarak cerita.

Di depan salah satu restoran paling direkomendasi di Northbridge, yakni Lot Twenty, Ryan harus berpisah dengan kami. Memang terlalu singkat dan tergesa saya menyimak rangkaian kisah tentang kota yang dicintainya. Namun, Ryan mengajari saya dalam beberapa jam saja bahwa Perth ini sungguh elegan untuk dinikmati berjalan kaki sambil menyesapi kehidupan kotanya. Darinya pula, saya selintas paham Kota Perth ini sungguh manusiawi bagi warganya.

Saya coba bandingkan dengan kota-kota Australia yang telah saya kunjungi, yakni Sydney, Melbourne, Adelaide dan Canberra. Meski sama-sama menyuguhkan arena jalan kaki yang menyenangkan, tapi tampaknya Perth terasa lebih anggun untuk dijejak oleh langkah-langkah tenang tanpa terlalu direcoki semarak modernitas yang bergegas.

Malam Perth tak terlalu dingin di musim gugur. Soal suhu memang Perth yang paling akrab untuk makhluk tropis seperti saya di benua subtropis Australia. Sambil menyisir malam Perth yang tenang dengan berjalan kaki mandiri, saya coba ingat-ingat jalan Ryan yang tadi kami susuri. Ah, tapi alangkah baiknya saya memilih jalan lain.

Kejutan menyenangkan pada persandingan aneka bangunan tua dan gedung modern mengiringi kepulangan saya yang telah larut malam. Saya masih sempat menunggui sejenak Gereja Wesley yang berdiri tahun 1870 berdampingan dengan gedung Rio Tinto yang menjulang. Rasanya, jalan kaki di Perth dalam sepi, bisa dinikmati sambil dikontemplasi.



Video perjalanan di Australia Barat dalam NG Travelmate



Perjalanan di Australia Barat ini terlaksana bersama NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA - www.nationalgeographic.co.id dan TOURISM WESTERN AUSTRALIA BOARD - www.westernaustralia.com dalam tajuk acara NG TRAVELMATE. Selama 6 hari (5 - 10 April 2016), saya mengeksplorasi pesona Australia Barat. Ada 11 tulisan dalam rangkaian perjalanan ini dan sebelumnya merupakan 'assignment' dari National Geographic Indonesia. Beberapa tulisan sudah tayang di majalah NG TRAVELER dan laman www.nationalgeographic.co.id.

Berikut ini, sebelas tulisan tentang pengalaman saya merayakan pesona Australia Barat yang mengagumkan. Kamu harus membaca semuanya...


Selamat membaca dan menarik kisah perjalanan yang lebih bermakna...

You Might Also Like

1 komentar

  1. Perth!!!!
    baca tulisan ini jadi kepengen secepetnya terbang kesana -_-
    trus galau sama visa australia wkwkw

    BalasHapus

Twitter @iqbal_kautsar

Komentar Pembaca

BACA LEBIH BANYAK